Kamis, 11 Desember 2008

footstep of "salik"

Wali Songo

Maulana Malik Ibrahim (w. 1419)

Maulana Malik Ibrahim atau Makdum Ibrahim As-Samarqandy diperkirakan lahir di Samarqand, Asia Tengah, pada paruh awal abad 14. Babad Tanah Jawi versi Meinsma menyebutnya Asmarakandi -mengikuti pengucapan lidah Jawa terhadap As-Samarqandy- berubah menjadi Asmarakandi.
Beliau disebut juga Syeikh Magribi. Sebagian rakyat menyebutnya Kakek Bantal. Ia bersaudara dengan Maulana Ishak seorang ulama terkenal di Samudra Pasai, sekaligus ayah dari Sunan Giri (Raden Paku). Ibrahim dan Ishak adalah anak dari seorang ulama Persia -bernama Maulana Jumadil Kubro- yang menetap di Samarqand. Maulana Jumadil Kubro diyakini sebagai keturunan ke-10 dari Sayyidina Husein, cucu Nabi Muhammad SAW.
Maulana Malik Ibrahim pernah bermukim di Campa (sekarang Kamboja) selama tiga belas tahun sejak tahun 1379. Bahkan beliau menikahi putri raja, yang memberinya dua putra. Mereka adalah Raden Rahmat (dikenal dengan Sunan Ampel) dan Sayid Ali Murtadha alias Raden Santri. Merasa cukup menjalankan misi dakwah di negeri itu, tahun 1392 M Maulana Malik Ibrahim hijrah ke Pulau Jawa meninggalkan keluarganya.

Beberapa versi menyatakan bahwa kedatangannya disertai beberapa orang. Daerah yang dituju pertama kali yakni desa Sembalo, daerah yang masih berada dalam wilayah kekuasaan Majapahit. Desa Sembalo sekarang adalah daerah Leran kecamatan Manyar, 9 KM dari utara kota Gresik.
Aktivitas pertama yang dilakukannya ketika itu adalah berdagang dengan membuka warung. Warung tersebut menyediakan kebutuhan pokok berharga murah. Selain itu secara khusus Malik Ibrahim juga memberikan pengobatan gratis kepada masyarakat. Kabarnya, sebagai seorang tabib beliau pernah diundang untuk mengobati istri raja yang berasal dari Campa. Besar kemungkinan permaisuri tersebut masih kerabat istrinya.

Makam Maulana Malik Ibrahim

Batu Nisan Maulana Malik Ibrahim
Kakek Bantal juga mengajarkan cara-cara baru bercocok tanam. Ia merangkul masyarakat bawah -kasta yang disisihkan dalam Hindu. Maka sempurnalah misi pertamanya, yaitu mencari tempat di hati masyarakat sekitar yang ketika itu tengah dilanda krisis ekonomi dan perang saudara. Selesai membangun dan menata pondokan tempat belajar agama di Leran, tahun 1419 M Maulana Malik Ibrahim wafat. Makamnya kini terdapat di kampung Gapura, Gresik, Jawa Timur.
Batu nisannya amat unik dari marmer putih dengan kaligrafi Arab, yang dikirim dari Gujarat (India Barat). Bentuk nisan ini hanya dapat dijumpai di Palembang dan Aceh.


Sunan Ampel (1401 – 1478/1481)

Ia adalah putra tertua Maulana Malik Ibrahim. Menurut Babad Tanah Jawi dan Silsilah Sunan Kudus, Sunan Ampel pada masa kecil dikenal dengan nama Raden Rahmat. Ia lahir di Campa tahun 1401 M. Nama Ampel diidentikkan dengan nama tempat ia lama bermukim. Di daerah Ampel atau Ampel Denta, wilayah yang kini menjadi bagian dari Surabaya (kota Wonokromo sekarang).
Seperti diceritakan kembali oleh Ridin Sofwan, Wasit, dan Mundiri dalam Islamisasi di Jawa: Walisongo, Penyebar Islam di Jawa, Menurut Penuturan Babad (2000), Raden Rahmat diperkirakan lahir awal abad ke-15 di Campa (Cempa dan Campa digunakan bergantian oleh berbagai sumber). Terdapat berbagai versi tentang siapa ayahnya tersebut: Ibrahim Asmarakandi, keturunan Arab yang menikahi putri raja Campa; tapi ada juga Ibrahim Al Ghozi atau Ibrahim Zainal Akbar - ketiga versi ini mempunyai kesamaan, bahwa Ibrahim adalah keturunan Nabi Muhammad.
Beberapa versi menyatakan bahwa Sunan Ampel (Sayid Ngali Rahmat) masuk ke pulau Jawa pada tahun 1443 M bersama Raden Santri atau Raden Pandita (Sayid Ali Murtadho), sang adik. Tahun 1440 M, mereka singgah di Palembang. Setelah 3 tahun di Palembang, kemudian ia berlabuh di daerah Gresik. Dilanjutkan pergi ke Majapahit menemui bibinya -seorang putri dari Campa- bernama Dwarawati yang dipersunting oleh salah seorang raja Majapahit beragama Hindu bergelar Prabu Sri Kertawijaya.
Sunan Ampel menikah dengan putri seorang adipati Tuban, Tumenggung Arya Teja. Dari perkawinan itu ia dikaruniai beberapa orang putra dan putri. Di antara yang menjadi penerusnya adalah Sunan Bonang dan Sunan Drajat. Ketika Kesultanan Demak (25 KM arah selatan kota Kudus) hendak didirikan, Sunan Ampel turut andil lahirnya kerajaan Islam pertama di pulau Jawa. Ia pula yang menunjuk muridnya, yaitu Raden Patah (putra dari Prabu Brawijaya V Raja Majapahit) untuk menjadi Sultan Demak tahun 1475 M. Raden Patah menikahi putri Sunan Ampel bernama Asyikah.
Sebagai media berda’wah Raden Achmad mengajak para pengikutnya untuk membangun sebuah masjid pada tahun 1421 M. Masjid ini di bangun dengan gaya arsitektur jawa kuno dan nuansa Arab Islami yang sangat lekat. Masjid ini dinamakan Masjid Agung Sunan Ampel yang kini terletak di jalan KH. Mas Mansyur Surabaya Utara.
Daerah Ampel Denta yang kondisinya berawa-rawa, daerah yang dihadiahkan Raja Majapahit, ia membangun dan mengembangkan pondok pesantren. Mula-mula masyarakat sekitar dirangkul. Pada pertengahan abad 15, pesantren tersebut menjadi pusat pendidikan yang sangat berpengaruh di wilayah Nusantara hingga ke mancanegara. Para santri diantaranya adalah Sunan Giri dan Raden Patah. Para santri tersebut kemudian disebarkan berdakwah ke berbagai pelosok Jawa dan Madura.
Sunan Ampel menganut fikih mahzab Hanafi. Namun, pada para santrinya, ia hanya memberikan pengajaran sederhana yang menekankan pada penanaman akidah dan ibadah. Dialah yang mengenalkan istilah "Mo Limo" (moh main, moh ngombe, moh maling, moh madat, moh madon). Yakni seruan untuk “tidak main judi, tidak minum minuman keras, tidak mencuri, tidak menggunakan narkotik, dan tidak berzina.”

Jalan Menuju Makam Sunan Ampel
Sunan Ampel diperkirakan wafat tahun 1481 M di Demak dan dimakamkan di sebelah barat Masjid Agung Sunan Ampel, Surabaya.



Sunan Bonang (1440/1465 – 1525)

Beliau merupakan anak Sunan Ampel, yang berarti cucu Maulana Malik Ibrahim. Nama kecilnya adalah Raden Makdum Ibrahim dan karena tidak pernah menikah, atau setidaknya tak berputra, ia juga disebut Sunan Wadat Anyakra Wati. Lahir diperkirakan tahun 1440 M atau 1465 M dari rahim seorang perempuan bernama Nyi Ageng Manila alias Dewi Condrowati, puteri seorang adipati Tuban bernama Tumenggung Arya Teja.
Sunan Bonang belajar agama dari pesantren ayahnya di Ampel Denta. Setelah cukup dewasa, bersama saudaranya Sunan Giri dia pergi ke Mekkah dengan singgah terlebih dahulu di Malaka, kemudian ke Pasai. Di Malaka dan Pasai mereka mempelajari bahasa dan sastra Arab lebih mendalam. Sejarah Melayu merekam kunjungan Sunan Bonang dan Sunan Giri ke Malaka sebelum melanjutkan perjalanan ke Pasai. Sepulang dari Mekkah, melalui jalan laut dengan singgah di Gujarat, India. Tiba di pulau Jawa, dakwah diawali di Kediri yang saat itu mayoritas masyarakatnya beragama Hindu. Di sana ia mendirikan Masjid Sangkal Daha. Ketika masjid Demak berdiri pada tahun 1498 M Sunan Bonang menjadi imamnya untuk yang pertama.
Ia kemudian menetap di Bonang -desa kecil di Lasem, Jawa Tengah- sekitar 15 KM timur kota Rembang. Di desa tersebut, ia membangun tempat pesujudan (tempat tafakur) sekaligus pesantren yang kini dikenal dengan nama Watu Layar. Ia dikenal pula sebagai imam resmi pertama Kesultanan Demak bahkan sempat menjadi panglima tertinggi. Meskipun demikian, Sunan Bonang tak pernah menghentikan kebiasaannya untuk berkelana ke daerah-daerah yang sangat sulit.
Ia acap kali berkunjung ke daerah terpencil di Tuban, Pati, Madura maupun pulau Bawean. Di pulau inilah, pada tahun 1525 M ia meninggal. Jenazahnya sempat diperebutkan oleh masyarakat Bawean dan Tuban. Karena itu, makam Sunan Bonang ada di dua tempat. Satu di Pulau Bawean dan satunya lagi di sebelah barat Masjid Agung Tuban, Desa Kutareja, Tuban. Kini kuburan itu dikitari tembok dengan tiga lapis halaman. Setiap halaman dibatasi tembok berpintu gerbang.
Tak seperti Sunan Giri yang lugas dalam fikih, ajaran Sunan Bonang memadukan ajaran ahlussunnah bergaya tasawuf dan garis salaf ortodoks. Ia menguasai ilmu fikih, usuludin, tasawuf, seni, sastra dan arsitektur. Masyarakat juga mengenal Sunan Bonang sebagai seorang yang piawai dalam mencari sumber air di tempat-tempat gersang.
Ajaran Sunan Bonang berintikan pada filsafat ‘cinta’ ('isyq). Sangat mirip dengan kecenderungan Jalaluddin Rumi. Menurut Bonang, cinta sama dengan iman, pengetahuan intuitif (makrifat) dan kepatuhan kepada Allah SWT atau haq al yaqqin. Ajaran tersebut disampaikannya secara populer melalui media kesenian yang disukai masyarakat. Dalam hal ini, Sunan Bonang bahu-membahu dengan murid utamanya, Sunan Kalijaga.
Sunan Bonang banyak melahirkan karya sastra berupa suluk, atau tembang tamsil. Salah satunya adalah "Suluk Wijil" yang tampak dipengaruhi kitab Al Shidiq karya Abu Sa'id Al Khayr (wafat pada 899). Suluknya banyak menggunakan tamsil cermin, bangau atau burung laut. Sebuah pendekatan yang juga digunakan oleh Ibnu Arabi, Fariduddin Attar, Rumi serta Hamzah Fansuri.
Sunan Bonang juga menggubah gamelan Jawa yang saat itu kental dengan estetika Hindu, dengan memasukkan instrumen baru seperti rebab Arab dan kempul Campa (yang kemudian disebut bonang, untuk mengabadikan namanya) ke dalam susunan gamelan Jawa. Gubahannya ketika itu memiliki nuansa dzikir yang mendorong kecintaan pada kehidupan transedental (alam malakut). Tembang Tombo Ati adalah salah satu karya Sunan Bonang.


Makam Sunan Bonang
Dalam pentas pewayangan, Sunan Bonang adalah dalang yang piawai membius penontonnya. Kegemarannya adalah menggubah lakon dan memasukkan tafsir-tafsir khas Islam. Kisah perseteruan Pandawa-Kurawa ditafsirkan Sunan Bonang sebagai peperangan antara nafi (peniadaan) dan 'itsbat (peneguhan).



Sunan Drajat (1470 - 1522)

Nama kecilnya Raden Qasim, Qosim, atau Kasim. Ia anak Sunan Ampel. Empat putra Sunan Ampel lainnya adalah Sunan Bonang, Siti Muntosiyah yang dinikahi Sunan Giri, Nyi Ageng Maloka yang diperistri Raden Patah, dan seorang putri yang disunting Sunan Kalijaga. Diperkirakan Sunan Drajat yang bergelar Raden Syaifuddin ini lahir pada tahun 1470 M.
Raden Qasim menghabiskan masa kanak dan remaja di kampung halamannya di Ampeldenta, Surabaya. Sunan Drajat mendapat tugas pertama kali dari ayahnya untuk berdakwah ke pesisir barat Gresik, melalui laut. Ia kemudian terdampar di Dusun Jelog, pesisir Banjarwati atau Lamongan sekarang. Menurut tarikh, peristiwa ini terjadi pada sekitar 1485 M. Di sana, Raden Qasim disambut baik oleh tetua kampung bernama Mbah Mayang Madu dan Mbah Banjar. Raden Qasim kemudian menetap di Jelog dan menikah dengan Kemuning, putri Mbah Mayang Madu.
Di Jelog, Raden Qasim mendirikan sebuah surau yang akhirnya menjadi pesantren tempat mengaji ratusan penduduk.
Jelog, yang semula cuma dusun kecil dan terpencil, lambat laun berkembang menjadi kampung besar yang ramai. Namanya berubah menjadi Banjaranyar. Selang 3 tahun, Raden Qasim pindah ke selatan sekitar satu kilometer dari Jelog, ke tempat yang lebih tinggi dan terbebas dari banjir pada musim hujan. Sunan Drajat mendirikan padepokan santri Dalem Duwur, yang kini bernama Desa Drajat, Paciran, Lamongan.
Sunan Drajat menghabiskan sisa hidupnya di sana, hingga wafat pada tahun 1522 M. Di tempat itu kini dibangun sebuah museum tempat menyimpan barang-barang peninggalan Sunan Drajat -termasuk dayung perahu yang dulu pernah menyelamatkannya. Sedangkan lahan bekas tempat tinggal beliau kini dibiarkan kosong dan dikeramatkan.
Dalam pengajaran tauhid dan akidah, Sunan Drajat mengambil cara ayahnya: langsung dan tidak banyak mendekati budaya lokal. Meskipun demikian, cara penyampaiannya mengadaptasi cara berkesenian yang dilakukan Sunan Muria. Terutama seni suluk. Maka ia menggubah sejumlah suluk, di antaranya adalah suluk petuah “berilah tongkat pada si buta/beri makan pada yang lapar/beri pakaian pada yang telanjang.”


Makam Sunan Drajat
Sunan Drajat juga dikenal sebagai seorang bersahaja yang suka menolong. Di pondok pesantrennya, ia banyak memelihara anak-anak yatim-piatu dan fakir miskin.


Sunan Kudus (w. 1550)

Meski bernama Sunan Kudus, ia bukanlah asli Kudus. Namun datang dari Jipang Panolan (ada yang mengatakan disebelah utara Blora), berjarak 25 KM ke arah barat kota Kudus, Jawa Tengah. Nama kecilnya Ja’far Shadiq. Merupakan putra pasangan Sunan Undung atau Sunan Ngudung (Raden Usman Haji) dan Syarifah (adik Sunan Bonang), anak Nyi Ageng Maloka. Disebutkan bahwa Sunan Ngudung adalah salah seorang putra Sultan di Mesir yang berkelana hingga di Jawa.
Ada sumber yang menyebutkan bahwa Sayyid Ja’far Shadiq berasal dari Palestina, datang tahun 1436 M dan tinggal di Kudus sehingga dikenal sebagai Sunan Kudus.
Di Kesultanan Demak, ia diangkat menjadi Panglima Perang menggantikan posisi ayahnya yang tewas dalam peperangan antara Demak dan Majapahit. Pada masa pemerintahan Sunan Prawoto, beliau diangkat menjadi penasihat bagi Arya Penangsang, Adipati Jipang. Selain sebagai panglima perang, Sunan Kudus juga menjabat sebagai hakim pengadilan.
Ja’far Shadiq berhasil mengembangkan wilayah Kerajaan Demak, ke timur mencapai Madura dan ke arah barat hingga Cirebon. Sukses ini kemudian memunculkan berbagai cerita kesaktian Ja’far Shadiq. Misalnya, sebelum perang, Ja’far Shadiq diberi badong -semacam rompi- oleh Sunan Gunung Jati. Badong itu dibawa berkeliling arena perang.
Dari badong sakti itu kemudian keluarlah jutaan tikus yang ternyata sakti. Kalau dipukul, tikus itu bukannya mati malah makin mengamuk sejadi-jadinya. Pasukan Majapahit ketakutan lari tunggang langgang. Dia juga punya sebuah peti, yang bisa mengeluarkan jutaan tawon. Banyak prajurit Majapahit yang tewas disengat tawon.

Yang pasti, pemimpin pasukan Majapahit yaitu Adipati Terung menyerah kepada pasukan Ja’far Shadiq. Usai perang, Ja’far Shadiq menikahi putri Adipati Terung dan mempunyai 8 orang anak. Selama hidupnya, Ja’far Shadiq sendiri juga punya istri lain, antara lain putri Sunan Bonang dan darinya ia mempunyai 1 orang anak.
Sukses mengalahkan Majapahit membuat posisi Ja’far Shadiq makin kokoh. Dia mendapat tugas lanjutan untuk mengalahkan Adipati Handayaningrat, yang berniat makar terhadap Kerajaan Demak. Adipati Handayaningrat merupakan gelar yang disandang Kebo Kenanga, penguasa daerah Pengging -wilayah Boyolali- dan sekitarnya.
Sunan Kudus banyak berguru kepada Sunan Kalijaga. Kemudian ia berkelana ke berbagai daerah tandus di Jawa Tengah seperti Sragen, Simo hingga Gunung Kidul. Cara berdakwahnya pun meniru pendekatan Sunan Kalijaga: sangat toleran pada budaya setempat. Cara penyampaiannya bahkan lebih halus. Itu sebabnya para wali -yang kesulitan mencari pendakwah ke Kudus yang mayoritas masyarakatnya pemeluk teguh- menunjuknya.
Cara Sunan Kudus mendekati masyarakat Kudus adalah dengan memanfaatkan simbol-simbol Hindu dan Budha. Hal itu terlihat dari arsitektur masjid Kudus. Bentuk menara, gerbang dan pancuran/padasan wudhu yang melambangkan delapan jalan Budha. Sebuah wujud kompromi yang dilakukan Sunan Kudus.

Suatu waktu, ia memancing masyarakat untuk pergi ke masjid mendengarkan tablighnya. Untuk itu, ia sengaja menambatkan sapinya yang diberi nama Kebo Gumarang di halaman masjid. Orang-orang Hindu yang mengagungkan sapi, menjadi simpati. Apalagi setelah mereka mendengar penjelasan Sunan Kudus tentang surat Al Baqarah yang berarti “sapi betina”. Sampai sekarang, sebagian masyarakat tradisional Kudus, masih menolak untuk menyembelih sapi.
Sunan Kudus juga menggubah cerita-cerita ketauhidan. Kisah tersebut disusunnya secara berseri, sehingga masyarakat tertarik untuk mengikuti kelanjutannya. Sebuah pendekatan yang tampaknya mengadopsi cerita 1001 malam dari masa kekhalifahan Abbasiyah. Dengan begitulah Sunan Kudus mengikat masyarakatnya.

Makam Sunan Kudus dibelakang Masjid Kudus

Menara Masjid Kudus
Setelah jamaahnya makin banyak, Ja'far Shadiq kemudian membangun masjid sebagai tempat ibadah dan pusat penyebaran agama di desa Kerjasan, Kudus Kulon. Tempat ibadah yang diyakini dibangun oleh Ja'far Shadiq adalah Masjid Menara Kudus yang hingga kini masih berdiri. Nama Ja'far Shadiq tercatat dalam inskripsi masjid tersebut.

Menurut catatan di situ, masjid didirikan pada 956 Hijriah atau 1549 Masehi. Dalam inskripsi terdapat kalimat berbahasa Arab yang artinya, ”...Telah mendirikan masjid Aqsa ini di negeri Quds...” Sangat jelas bahwa Ja'far Shadiq menamakan masjid itu dengan sebutan Aqsa setara dengan Masjidil Aqsa di Yerusalem.

Kota itu pun (yaitu) Tajug juga mendapat nama baru yakni Quds, yang kemudian berubah menjadi Kudus. Pada akhirnya, Ja'far Shadiq sendiri lebih terkenal dengan sebutan Sunan Kudus. Dalam menyebarkan agamanya, Sunan Kudus mengikuti gaya Sunan Kalijaga, yakni menggunakan model ''tutwuri handayani''. Artinya, Sunan Kudus tidak melakukan perlawanan frontal melainkan mengarahkan masyarakat sedikit demi sedikit.



Sunan Giri (1442 – 1506 M)

Memiliki nama kecil Raden Paku alias Muhammad Ainul Yakin. Sunan Giri lahir di Blambangan (kini Banyuwangi) tahun 1442 M. Ada juga yang menyebutnya Jaka Samudra. Sebuah nama yang dikaitkan dengan masa kecilnya yang pernah dibuang oleh keluarga ibunya -putri dari raja Blambangan Menak Sembuyu, bernama Dewi Sekardadu ke laut. Raden Paku kemudian dipungut anak oleh Nyai Semboja (Babad Tanah Jawi versi Meinsma).
Riwayat lain mengatakan bahwa Nyai Ageng Pinatih, seorang janda pengusaha kaya raya dan seorang syah bandar menemukan bayi dari Blambangan yang dibuang ke laut oleh Prabu Menak Sembuyu, kakeknya. Bayi itu diberi nama “Jaka Samudra” dan diasuh serta dididik hingga dewasa.
Ayahnya adalah Maulana Ishak, saudara sekandung Maulana Malik Ibrahim. Umumnya pendapat tersebut berdasarkan riwayat pesantren-pesantren Jawa Timur dan catatan nasab Sa'adah Ba’Alawi Hadramaut. Maulana Ishak berhasil meng-Islamkan isterinya, tapi gagal mengislamkan sang mertua. Oleh karena itu, ia meninggalkan keluarga isterinya berkelana hingga ke Samudra Pasai.
Sunan Giri kecil menuntut ilmu di pesantren misannya yaitu Sunan Ampel, tempat dimana Raden Patah juga belajar. Ia sempat berkelana ke Malaka dan Pasai untuk bertemu dengan ayah kandungnya. Di Pasai, ia menimba ilmu selama 7 tahun.
Setelah merasa cukup, ia hendak kembali ke Jawa dan Maulana Ishak membekalinya dengan segenggam tanah, lalu meminta untuk mendirikan pesantren di sebuah tempat yang warna dan bau tanahnya sama dengan yang diberikannya. Tempat tersebut adalah daerah perbukitan Desa Sidomukti, Kebomas di Selatan Gresik. Dalam bahasa Sansekerta, bukit adalah “giri”. Maka ia dijuluki Sunan Giri.
Pesantrennya tak hanya dipergunakan sebagai tempat pendidikan dalam arti sempit, namun juga sebagai pusat pengembangan masyarakat. Raja Majapahit --konon karena kuatir Sunan Giri mencetuskan pemberontakan- memberi keleluasaan untuk mengatur pemerintahan. Maka pesantren itupun berkembang menjadi salah satu pusat kekuasaan yang disebut Giri Kedaton. Kedaton
artinya keraton. Sebagai pemimpin pemerintahan, Sunan Giri juga disebut sebagai Prabu Satmata atas usulan Sunan Kalijaga sepeninggalan Sunan Ampel yang wafat tahun 1478 M. Diriwayatkan, pemberian gelar itu jatuh pada tanggal 9 Maret 1487 yang kemudian ditetapkan sebagai hari jadi Kabupaten Gresik.
Giri Kedaton tumbuh menjadi pusat politik yang penting di Jawa waktu itu. Ketika Raden Patah melepaskan diri dari Majapahit, Sunan Giri malah bertindak sebagai penasihat dan panglima militer Kesultanan Demak. Hal tersebut tercatat dalam Babad Demak. Selanjutnya, Demak tak lepas dari pengaruh Sunan Giri. Ia diakui juga sebagai mufti, pemimpin tertinggi keagamaan, se-Tanah Jawa.

Pintu Masuk Makam Sunan Giri
Giri Kedaton bertahan hingga 200 tahun. Salah seorang penerusnya, Pangeran Singosari dikenal sebagai tokoh yang paling gigih menentang kolusi VOC dan Amangkurat II pada abad 18.
Para santri pesantren Giri juga dikenal sebagai penyebar Islam yang gigih ke berbagai pulau, seperti Bawean, Kangean, Madura, Haruku, Ternate, hingga Nusa Tenggara. Penyebar Islam ke Sulawesi Selatan, Datuk Ribandang dan dua sahabatnya, adalah murid Sunan Giri yang berasal dari Minangkabau.
Dalam keagamaan, ia dikenal karena pengetahuannya yang luas dalam ilmu fiqih. Orang-orang pun menyebutnya sebagai Sultan Abdul Fakih. Ia juga pencipta karya seni yang luar biasa. Permainan anak seperti Jelungan, Jamuran, lir-ilir dan cublak suweng disebut sebagai kreasi Sunan Giri. Demikian pula Gending Asmaradana dan Pucung -lagi bernuansa Jawa namun syarat dengan ajaran Islam.

Makam Sunan Giri



Sunan Kalijaga (1455 – 1586)

Dialah “wali” yang namanya paling banyak disebut masyarakat Jawa. Ia lahir sekitar tahun 1455 Masehi. Ayahnya adalah Arya Wilatikta seorang Adipati Tuban dan keturunan dari tokoh pemberontak Majapahit, Ronggolawe. Dan ibunya adalah Dewi Sukati seorang putri Majapahit. Masa itu, Arya Wilatikta diperkirakan telah menganut Islam.
Nama kecil Sunan Kalijaga adalah Raden Said. Ia juga memiliki sejumlah nama panggilan seperti Lokajaya, Syeikh Malaya, Pangeran Tuban atau Raden Abdurrahman. Terdapat beragam versi menyangkut asal-usul nama “Kalijaga” yang disandangnya.
Masyarakat Cirebon berpendapat bahwa nama itu berasal dari dusun Kalijaga di Cirebon. Sunan Kalijaga memang pernah tinggal di Cirebon dan bersahabat erat dengan Sunan Gunung Jati. Kalangan Jawa mengaitkannya dengan kesukaan wali ini untuk berendam ('kungkum') di sungai (kali) atau “jaga kali”. Namun ada yang menyebut istilah itu berasal dari bahasa Arab “qadli dzaqa” yang menunjuk statusnya sebagai “penghulu suci” kesultanan.
Dalam satu riwayat, Sunan Kalijaga disebutkan menikah dengan Dewi Saroh binti Maulana Ishak dan mempunyai 3 putra yaitu Raden Umar Said (Sunan Muria), Dewi Rakayuh dan Dewi Sofiah.
Kelahiran Sunan Kalijaga pun menyimpan misteri. Ia diperkirakan lahir pada tahun 1430-an, dihitung dari tahun pernikahan Kalijaga dengan putri Sunan Ampel. Ketika itu Sunan Kalijaga diperkirakan berusia 20-an tahun. Sunan Ampel yang diyakini lahir tahun 1401, berusia 50-an tahun ketika menikahkan putrinya dengan Sunan Kalijaga.

Sunan Kalijaga dilukiskan hidup dalam empat era pemerintahan. Yakni masa Majapahit (sebelum 1478), Kesultanan Demak (1481-1546), Kesultanan Pajang (1546-1568) dan awal pemerintahan Mataram (1580-an). Begitulah yang dinukilkan Babad Tanah Jawi, yang memerikan kedatangan Sunan Kalijaga ke kediaman Panembahan Senopati di Mataram.
Tak lama setelah itu, Sunan Kalijaga wafat. Jika kisah itu benar, Sunan Kalijaga hidup selama sekitar 150-an tahun!
Dalam dakwah, ia punya pola yang sama dengan mentor sekaligus sahabat dekatnya yakni Sunan Bonang. Paham keagamaannya cenderung “sufistik berbasis salaf”, bukan sufi panteistik (pemujaan semata). Ia juga memilih kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah.
Ia sangat toleran terhadap budaya lokal. Ia berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh jika diserang pendiriannya. Maka mereka harus didekati secara bertahap: mengikuti sambil mempengaruhi. Sunan Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama hilang.
Maka ajaran Sunan Kalijaga terkesan sinkretis dalam mengenalkan Islam. Ia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk sebagai sarana dakwah. Dialah pencipta Baju takwa, perayaan sekatenan, grebeg maulud, Layang Kalimasada, lakon wayang Petruk Jadi Raja. Lanskap pusat kota berupa Kraton, alun-alun dengan dua beringin serta masjid diyakini sebagai karya Sunan Kalijaga.
Peninggalan Sunan Kalijaga lainnya adalah gamelan, yang diberi nama Kanjeng Kyai Nagawilaga dan Kanjeng Kyai Guntur Madu. Gamelan kini disimpan di Keraton Yogyakarta dan Keraton Surakarta, seiring dengan berpindahnya kekuasan Islam ke Mataram. Pasangan gamelan itu kini dikenal sebagai gamelan Sekaten.
Karya Sunan Kalijaga yang juga menonjol adalah wayang kulit. Ahli sejarah mencatat bahwa wayang yang digemari masyarakat sebelum kehadiran Sunan Kalijaga adalah wayang beber. Wayang jenis ini sebatas kertas yang bergambar kisah pewayangan. Sunan Kalijaga diyakini sebagai penggubah wayang kulit.

Tiap tokoh wayang dibuat gambarnya dan disungging di atas kulit lembu. Bentuknya berkembang dan disempurnakan pada era kejayaan Kerajaan Demak, 1480-an. Cerita dari mulut ke mulut menyebutkan bahwa Kalijaga juga piawai mendalang. Di wilayah Pajajaran, Sunan Kalijaga lebih dikenal sebagai Ki Dalang Sida Brangti.
Bila sedang mendalang di kawasan Tegal, Sunan Kalijaga bersalin nama menjadi Ki Dalang Bengkok. Ketika mendalang itulah Sunan Kalijaga menyisipkan dakwah Islam. Lakon yang dimainkan tak lagi bersumber dari kisah Ramayana dan Mahabarata. Sunan Kalijaga mengangkat kisah-kisah carangan.
Metode dakwah tersebut sangat efektif. Sebagian besar adipati di Jawa memeluk Islam melalui Sunan Kalijaga. Di antaranya adalah Adipati Padanaran, Kartasura, Kebumen, Banyumas, serta Pajang (sekarang Kotagede-Yogya).
Beberapa yang terkenal adalah lakon Dewa Ruci, Jimat Kalimasada, dan Petruk Dadi Ratu. Dewa Ruci ditafsirkan sebagai kisah Nabi Khidir. Sedangkan Jimat Kalimasada tak lain perlambang dari kalimat syahadat. Bahkan kebiasan kenduri pun menjadi sarana syiarnya.
Sunan Kalijaga mengganti puja-puji dalam sesaji itu dengan doa dan bacaan dari kitab suci Al-Qur’an. Di awal syiar, Kalijaga selalu berkeliling ke pelosok desa. Menurut catatan Prof. Husein Jayadiningrat, Kalijaga berdakwah hingga ke Palembang, Sumatera Selatan, setelah diba’iat sebagai murid Sunan Bonang.
Di Palembang, sempat berguru pada Syekh Sutabaris. Sayangnya, keberadaan Sunan Kalijaga di “bumi Sriwijaya” tidak meninggalkan catatan tertulis. Hanya disebut dalam Babad Cerbon, Sunan Kalijaga tiba di kawasan Cirebon setelah berdakwah dari Palembang. Konon, Kalijaga ingin menyusul Sunan Bonang yang pergi ke Mekkah.
Namun oleh Syekh Maulana Magribi Kalijaga diperintahkan kembali ke Jawa. Babad Cerbon menulis, Sunan Kalijaga menetap beberapa tahun di Cirebon, persisnya di Desa Kalijaga, sekitar 2,5 KM arah selatan kota. Pada awal kedatangan, Kalijaga menyamar dan bekerja sebagai pembersih masjid Keraton Kasepuhan. Di sinilah Sunan Kalijaga bertemu dengan Sunan Gunung Jati yang kemudian dinikahkan dengan adik Sunan Gunung Jati bernama Siti Zaenah. Hanya beberapa tahun Sunan Kalijaga dikisahkan menetap di Cirebon.
Dakwahnya berlanjut ke arah timur melewati pesisir utara sampai ke Kadilangu, Demak. Di sinilah Sunan Kalijaga diyakini menetap lama hingga akhir hayat. Kadilangu merupakan tempat Sunan Kalijaga membina kehidupan rumah tangga. Istri yang disebut-sebut hanyalah Dewi Sarah, putri Maulana Ishak.
Sunan Muria dan Sunan Kudus tergolong satu aliran dalam berdakwah dengan Sunan Kalijaga. Metode dakwah aliran Kalijaga itu amat keras ditentang Sunan Ampel, mertuanya dan Sunan Drajat, kakak iparnya.
Hingga kini para pengikut ajaran Sunan Kalijaga, Sunan Muria, dan Sunan Kudus dikenal dengan sebutan kelompok “Islam Abangan”. Julukan ini melekat pada masyarakat di sepanjang pesisir utara dari Demak, Semarang, Tegal, hingga Cirebon. Selain dakwah dengan kontak budaya, kisah spektakuler lainnya adalah ikut serta pembangunan Masjid Agung Cirebon dan Masjid Agung Demak. Tiang “tatal” (pecahan kayu) yang merupakan salah satu dari tiang utama masjid adalah kreasi Sunan Kalijaga.
Babad Demak menyebutkan, masjid itu berdiri pada tahun 1477 berdasarkan candrasengkala “Lawang Trus Gunaning Janma” -bermakna angka 1399 tahun Saka. Kisah pendirian Masjid Agung Demak sendiri banyak bercampur dengan dongeng. Masih belum jelas, benarkah kesembilan wali berada di tempat ini dalam satu waktu.


Makam Sunan Kalijaga
Sunan Kalijaga dimakamkan di Kadilangu, selatan Demak.


Sunan Muria

Satu versi yang diyakini oleh ahli sejarah A.M. Noertjahjo (1974) dan Solihin Salam (1964, 1974) menyebutkan bahwa Sunan Muria adalah putra Sunan Kalijaga dari istrinya yang bernama Dewi Saroh, adik kandung Sunan Giri sekaligus anak Syeikh Maulana Ishak.
Versi lain memaparkan, Sunan Muria adalah putra Raden Usman Haji alias Sunan Ngudung. R. Darmowasito dalam karyanya yang berjudul Pustoko Darah Agung yang berisi sejarah dan silsilah wali dan raja-raja Jawa, menyebutkan Sunan Muria sebagai putra Raden Usman Haji.
Nama kecilnya adalah Raden Prawoto. Nama Muria sendiri diambil dari tempat tinggal terakhirnya di lereng Gunung Muria, sekitar 18 KM ke utara kota Kudus.
Gaya berdakwahnya banyak mengambil cara ayahnya, Sunan Kalijaga. Ia juga berdakwah lewat berbagai kesenian Jawa, misalnya mencipta macapat, lagu Jawa lalu adat kenduri pada hari-hari tertentu setelah kematian anggota keluarga, seperti nelung dino sampai nyewu, yang tak diharamkannya. Hanya, tradisi berbau klenik seperti membakar kemenyan atau menyuguhkan sesaji diganti dengan do’a atau salawat. Lagu sinom dan kinanti dipercayai sebagai karya Sunan Muria yang sampai sekarang masih lestari.
Lewat tembang-tembang itulah ia mengajak umatnya mengamalkan ajaran Islam. Karena itulah, Sunan Muria lebih senang berdakwah pada rakyat jelata ketimbang kaum bangsawan juga lebih suka tinggal di daerah sangat terpencil dan jauh dari pusat kota untuk menyebarkan agama Islam. Bergaul dengan rakyat jelata sambil mengajarkan keterampilan-keterampilan bercocok tanam, berdagang dan melaut adalah kesukaannya. Maka daerah dakwahnya cukup luas dan tersebar. Mulai lereng-lereng Gunung Muria, pelosok Pati, Kudus, Juana, sampai pesisir utara.
Cara dakwah inilah yang menyebabkan Sunan Muria dikenal sebagai sunan yang suka berdakwah topo ngeli. Yakni dengan “'menghanyutkan diri” dalam masyarakat. Hingga kini, kompleks makam Sunan Muria yang terletak di Desa Colo di lereng Gunung Muria, sekitar 800 meter di atas permukaan laut tidak pernah sepi dari penziarah.
Sunan Muria seringkali dijadikan pula sebagai penengah dalam konflik internal di Kesultanan Demak (1518-1530). Ia dikenal sebagai pribadi yang mampu memecahkan berbagai masalah betapa pun rumitnya masalah itu. Solusi pemecahannya pun selalu dapat diterima oleh semua pihak yang berseteru.
Di kalangan pejabat yang hobi berziarah berkembang kepercayaan, jika sudah berkunjung ke makam Sunan Muria, jangan berziarah ke makam Sunan Kudus. Walau jarak kedua makam tak begitu jauh hanya sekitar 19 KM karena hal itu merupakan pantangan dan dipercaya si pejabat bersangkutan bisa kehilangan jabatan.

Pintu Masuk Makam Sunan Muria


Sunan Gunung Jati (1448/1450 - 1568)

Banyak kisah tak masuk akal yang dikaitkan dengan Sunan Gunung Jati. Di antaranya adalah bahwa ia pernah mengalami perjalanan spiritual seperti Isra’ Mi’raj, lalu bertemu Rasulullah SAW, bertemu Nabi Khidir, dan menerima wasiat Nabi Sulaiman. (Babad Cirebon Naskah Klayan hal.xxii). Semua itu hanya mengisyaratkan kekaguman masyarakat pada masa itu kepada Sunan Gunung Jati.
Di samping itu, Sunan Gunung jati mempunyai banyak nama di antaranya Syarif Hidayatullah, Muhammad Nurudin, Syekh Nurullah, Sayyid Kamil, Bulqiyah, Syekh Madzkurullah, Makdum Jati. Sedang menurut babad-babad (cerita), nama asli Sunan Gunung Jati sangatlah panjang, yaitu Syekh Nuruddin Ibrahim Ibnu Israil, Syarif Hidayatullah, Said Kamil, Maulana Syekh Makdum Rahmatullah.
Menurut beberapa ahli sejarah, Syarif Hidayatullah berasal dari Pasai, sebelah utara Aceh. Namun ada juga yang mengatakan, beliau mempunyai darah keturunan Persia. Beberapa yang lain menyatakan bahwa Sunan Gunung Jati adalah putra dari Raja Makkah (Arab) yang menikah dengan putri kerajaan Pajajaran (Sunda).
Syarif Hidayatullah diperkirakan lahir sekitar tahun 1448 M. Ibunya adalah Nyai Rara Santang, putri dari raja Pajajaran Raden Manah Rarasa atau Prabu Siliwangi dari istrinya yang bernama Nyai Subang Larang, adik dari Kiyan Santang bergelar Pangeran Cakrabuwana yang berguru kepada Syekh Datuk Kahfi atau Syekh Nurul Jati, seorang muballigh asal Baghdad bernama asli Idhafi Mahdi.
Ayah beliau adalah Syarif Abdullah bin Nur Alam bin Jamaluddin Akbar.
Jamaluddin Akbar adalah seorang muballigh dan musafir besar dari Gujarat, India yang sangat dikenal sebagai Syekh Maulana Akbar bagi kaum Sufi di tanah air. Syekh Maulana Akbar adalah putra Ahmad Jalal Syah putra Abdullah Khan putra Abdul Malik putra Alwi putra Syekh Muhammad Shahib Mirbath, ulama besar di Hadramaut, Yaman yang silsilahnya sampai kepada Rasulullah melalui cucu beliau Imam Husain.
Riwayat lain menyebutkan bahwa ayah Syarif Hidayatullah adalah Sultan Syarif Abdullah Maulana Huda, pembesar Mesir keturunan Bani Hasyim dari Palestina.
Syarif Hidayatullah mendalami ilmu agama sejak berusia 14 tahun dari para ulama Mesir. Ia pernah menjadi santrinya Syekh Tajuddin Al-Kubri Makkah selama 2 tahun dan menjadi santrinya Syekh Ata’ullahi Sadzili, pengikut Imam Safi’i selama 2 tahun. Kemudian belajar tasawuf di Baghdad, Irak. Tamat belajar di Baghdad, Sunan Gunung Djati mondok di Pasai Aceh dan berguru kepada Sayid Ishaq selama 2 tahun. Di Mesir, oleh pamannya, Raja Onkah, Syarif Hidayatullah hendak diserahi kekuasaan. Namun Syarif menolak, dan menyerahkan kekuasaan itu kepada adiknya, Syarif Nurullah.
Syarif Hidayatullah bersama ibunya pulang ke Cirebon dan pada tahun 1475 tiba di Nagari Caruban Larang yang diperintah pamannya, Pangeran Cakrabuana. Empat tahun kemudian Pangeran Cakrabuana mengalihkan kekuasaannya kepada Syarif Hidayatullah, setelah sebelumnya menikahkan Syarif Hidayatullah dengan putrinya, Ratu Pakungwati. Demi kepentingan dakwah pada tahun yang sama beliau menikahi adik dari Bupati Banten ketika itu yang bernama Nyai Kawunganten. Dari pernikahan ini beliau mendapatkan seorang putri yaitu Ratu Winahon yang lebih dikenal dengan Ratu Wulung Ayu dan Mawlana Hasanuddin atau Pangeran Sabangkingking yang kelak menjadi Sultan Banten I.
Menyusul berdirinya Kesultanan Bintoro Demak dan atas restu kalangan ulama lain, ia mendirikan Kasultanan Cirebon yang juga dikenal sebagai Kasultanan Pakungwati.
Dengan demikian, Sunan Gunung Jati adalah satu-satunya wali songo yang memimpin pemerintahan. Sunan Gunung Jati memanfaatkan pengaruhnya sebagai putra Raja Pajajaran untuk menyebarkan Islam dari pesisir Cirebon ke pedalaman Pasundan atau Priangan.
Dalam berdakwah, ia menganut kecenderungan Timur Tengah yang lugas. Namun ia juga mendekati rakyat dengan membangun infrastruktur berupa jalan-jalan yang menghubungkan antar wilayah.
Bersama putranya, Maulana Hasanuddin, Sunan Gunung Jati juga melakukan ekspedisi ke Banten. Penguasa setempat bernama Pucuk Umum menyerahkan sukarela penguasaan wilayah Banten tersebut yang kemudian menjadi cikal bakal Kesultanan Banten.

Makam Sunan Gunung Jati
Pada usia 89 tahun, Sunan Gunung Jati mundur dari jabatannya dan hanya menekuni dakwah. Kekuasaan itu diserahkannya kepada Pangeran Pasarean. Pada tahun 1568 M, Sunan Gunung Jati wafat dalam usia 120 tahun, di Cirebon (dulu Carbon). Ia dimakamkan di Pasir Jati, bagian tertinggi ''Wukir Saptarengga'', kompleks makam Gunung Sembung, Gunung Jati, sekitar 15 KM sebelum kota Cirebon dari arah barat.



Makam Para Ulama dan Sufi Besar di Mancanegara


1. Hasan al-Bashri (w. 110 H.)  Bashrah, Irak

2. Imam Abu Hanifah (w. 150 H.)  Mosque dan Mausoleum Al-Imam Al-Aadham, Baghdad, Irak

3. Sufyan al-Tsauri (w. 161 H.)  Kufa, Irak

4. Imam Malik (w. 179 H.)  Jannat ul-Baqi, Madinah


5. Imam Syafi‘i (w. 204 H.)  Jannat ul-Baqi, Madinah


Mazar Hazrat Imam Al Shafi’i di Kairo.

6. Imam Ahmad ibn Hanbal (w. 241 H.)  di Martyrs cemetery, dekat gerbang Harb, Baghdad, Irak

7. Al-Harits al-Muhasibi (w. 243 H.)  Basrah, Irak

8. Qasim ibn Utsman Al-Ju’i (w. 248 H.)  Damaskus

9. Imam al-Junaid al-Baghdadi (w. 297 H.)  Baghdad, Irak

10. Hakim al-Tirmidzi (w. 320 H.)  Tirmidh, Uzbeskistan

11. Imam Abu Manshur Abdul Qadir al-Baghdadi (W. 429 H.)  Isfarayin, Iran

12. Imam Abu al-Qasim al-Qusyairi (w. 465 H.)  Khurasan, Iran

13. Syekh Abdullah al-Harawi al-Anshari (W. 481 H.)  Herat, Afganistan


14. Hujjatul Islam Imam al-Ghazali (w. 505 H.)  Tus, di provinsi Khorasan, Persia (kini dikenal sebagai Iran) atau Baghdad, Iraq.

15. Abu al-Wafa ibn Aqil al-Hanbali (w. 513 H.)  Baghdad, Irak

16. Ibn al-Jauzi (w. 597 H.)  dekat makam Imam Ahmad, Bashrah, Irak

17. Syekh Abdul Qadir al-Jailani (w. 561 H.)  Baghdad, Irak

18. Imam Fakhruddin al-Razi (w. 606 H.)  Herat, Afghanistan Barat

19. Imam al-Nawawi (w. 676 H.)  Nawa, Damaskus Selatan


20. Al-Izz Abdussalam al-Maqdisi (w. 678 H.)  Mesir

21. Ibn Taimiyah (w. 728 H.)  Pemakaman Sufi di Baramke, Damaskus

22. Tajuddin al-Subki (w. 771 H.)  Pemakaman Keluarga Subki di kaki Gunung Qasiyun

23. Imam Abu Ishak al-Syatibi al-Maliki (w. 790 H.)  Granada, Spanyol

24. Ibn Khaldun (w. 808 H.)  Pemakaman Sufi diluar Bab an-Nasr, Kairo

25. Imam al-Sakhawi (w. 902 H.)  Madinah, Arab Saudi

26. Jalaluddin al-Suyuthi (w. 911 H.)  Pemakaman Qurafah dekat gerbang timur, Damaskus

27. Zakariya Ibn Muhammad Anshari (w. 926 H.)

28. Ibn Hajar al-Haitsami (w. 974 H.)  Mekkah, Arab Saudi

29. Abdul Wahhab al-Sya‘rani (w. 973 H.)  Qahirah, Mesir

30. Mullah Ali al-Qari (w. 1014 H.)  Mekkah, Arab Saudi

31. Ibn Abidin (w. 1252 H.)  Dekat makam Shaykh Álauddin al-Haskafi di Damaskus

32. Abdul A‘la al-Maududi (w. 1399 H.)  Buffalo, New York, USA